NO WASTING TIME!

Sabtu, 22 Juni 2013

Kunci UN, Jujur dan Kredibel



PERHELATAN nasional berupa ujian nasional (UN) kembali diselenggarakan. Untuk tingkat SMA/MA/SMK digelar 16-18 April, SMP/MTs/SMPLB dilaksanakan 22-25 April, dan SD/MI/SDLB, 6-8 Mei 2012. Banyak pihak berharap pelaksanaan UN 2013 ini tingkat kelulusan peserta didik meningkat. Siswa juga diharapkan mampu meraih nilai memuaskan. 

Saat ini, UN tidak lagi menjadi satu-satunya penentu kelulusan siswa. Salah satu unsur kelulusan didapat dari nilai gabungan. Nilai sekolah ditambah nilai UN akan menjadi nilai gabungan. Penentuan nilai sekolah siswa didapatkan dari nilai rapor semester satu hingga semester empat plus nilai ujian akhir sekolah (UAS). Hasil rata-rata nilai gabungan nanti tidak boleh kurang dari 5,5. Sedangkan pembobotan nilai UN dan UAS adalah 60 persen untuk nilai UN dan 40 persen dari UAS (Permendikbud No 3 Tahun 2013). 

Memang, kelulusan seharusnya ditentukan dari hasil penilaian komprehensif. Ini langkah positif dan cukup mengakomodasi kepentingan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan. Sebelumnya, sekolah sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan kelulusan. Padahal, sekolah jauh lebih dahulu tahu kapasitas siswa dan mengetahui persis perkembangan proses belajar-mengajar dalam keseharian. 

Pertanyaannya, apakah formula kelulusan UN tersebut sudah memuaskan semua pihak? Khususnya guru dan siswa selaku subyek di lapangan? Saya pribadi sebagai guru yang setiap hari berkecimpung dengan siswa, keputusan ini setidaknya cukup menenteramkan. Paling tidak, meredam fobia UN yang selama ini menakutkan siswa.
Namun demikian, meski pemerintah menegaskan UN bukan menjadi faktor penentu kelulusan, namun tetap saja formula kelulusan UN dapat memberatkan siswa. Pertama, terkait rumus perhitungan nilai gabungan, yakni = (0,6 x nilai UN) + (0,4 x nilai sekolah). Misalnya perhitungannya sebagai berikut: (0,6.4) + (0,4.8) = 5,6.
Jika diasumsikan nilai UN 4 (jatuh), maka seorang siswa harus memperoleh minimal bobot nilai 8 untuk nilai sekolah agar bisa lulus dari jenjang satuan pendidikan. Nah, nilai 8 inilah yang rasanya cukup berat diraih siswa. Apalagi nilai sekolah merupakan rerata dari nilai-nilai rapor di semester 3-5 bagi tingkat SMA/MA/SMK untuk tiap mata pelajaran UN. 

Kedua, berjalin-kelindannya berbagai masalah yang menyertai kelulusan (ketidaklulusan) siswa dikhawatirkan membuat sekolah tertekan. Yang paling dirisaukan pihak sekolah adalah besaran ketidaklulusan akan berpengaruh signifikan terhadap kepercayaan masyarakat. Padahal kepercayaan masyarakat merupakan modal utama bagi eksistensi sebuah sekolah. Dalam situasi demikian terbuka celah yang lebar bagi sokalah untuk "memanipulasi" olahan nilai sekolah sedemikian rupa, sehingga peserta didik yang mestinya tidak lulus kemudian diluluskan dengan "pertolongan" olahan sekolah yang 40 persen itu. 

Kita sepakat dengan hasil survei nasional, UN tetap diperlukan terutama untuk mendorong siswa, guru, dan kepala sekolah bekerja keras meningkatkan kualitas pendidikan. Namun, capaian itu tidak berarti tanpa kejujuran para pemangu kepentingan. UN bersih lebih bermakna dan bukan pencapaian hasil belajar. Berapa pun kenaikan standar kelulusan tidak akan berpengaruh terhadap kualitas pendidikan kalau pelaksanaannya tidak jujur dan capaiannya hanya semu. 

Pengalaman pelaksanaan UN sebelumnya menunjukkan bahwa masih banyak terjadi kecurangan dan penyimpangan seperti: kebocoran soal UN, perjokian, dan jual beli jawaban UN. Yang ironis, ketidakjujuran UN melibatkan sekolah, guru, kepala sekolah, dan pejabat daerah. Masalah prestise dan reputasi yang terancam menjadi sumber persoalan dari "ketidakberdayaan" para guru dan sekolah mempertahankan kejujuran tadi. 

Dalam banyak kasus pelanggaran UN, bukan pihak luar yang melakukan pelanggaran, namun justru pihak sekolah, yaitu mereka yang berasal dari dalam. Ironisnya, para pendidik itu sendirilah yang menciptakan UN penuh sandiwara. Pejabat daerah pun memiliki kepentingan dengan pencitraan nama baik daerahnya, sehingga ketidakjujuran ini seringkali "diamini" oleh pejabat daerah tersebut. 

Memang, sungguh ironis di negeri ini. Memilih jalan kebenaran lebih besar risikonya dibanding yang memilih jalan keliru, yang justru relatif lebih aman. Tujuan baik penyelenggaraan UN yang diharapkan pemerintah sama sekali tidak tercapai. Pemetaan pendidikan yang akan ditunjukkan oleh hasil UN sama sekali tidak memenuhi unsur validitas dan reliabilitas. 

Keberhasilan pendidikan yang ditunjukkan dengan angka statistik keberhasilan UN adalah semu belaka. Pelaksanaan UN justru hanya menciptakan generasi yang selalu mengharapkan bantuan orang lain. Sebagian siswa pun telah mengetahui, ketika ujian berlangsung, mereka akan "ditolong" pihak sekolah. Maka, bukan tidak mungkin hal ini lambat laun akan menjadi rahasia umum di kalangan siswa yang akhirnya mematikan motivasi belajar siswa. 

Seketat apa pun pengawasan dan pengamanannya, bukan jaminan UN jujur. Kejujuran hanya akan terwujud apabila semua yang terlibat menyadari hakikat ujian ini, sehingga beriktikad baik untuk menjaga amanah itu. Masa depan pembangunan bangsa ini akan tergantung pada sumberdaya manusia berkualitas yang dihasilkan dari proses pendidikan yang cerdas dan jujur. 

Tentu kita lebih memilih orang-orang yang "setengah cerdas tetapi jujur" ketimbang "cerdas tetapi tidak jujur". Harus kita dukung UN yang berformula kejujuran, bukan prestasi tinggi yang diraih dengan kecurangan. UN berformula kejujuran harus menjadi tanggung jawab bersama demi sukses UN yang berkualitas. 

Hemat saya, kunci pelaksanaan UN yang baik, jujur, dan kredibel adalah: pertama, dijamin keamanan dan kerahasiaannya. Karena, jika berkasnya bocor, maka kredibilitas UN sudah berkurang, bahkan hilang. Kedua, dari sisi ketepatan distribusi, harus tepat waktu, tepat jumlah, dan tepat bahan yang mau diuji. Ketiga, pada hari pelaksanaan harus dijamin kelancarannya. Jangan sampai soal sudah ada semua tapi soal ujian yang dibagikan salah. 

Keempat, dalam sistem evaluasi harus dipastikan agar nilai rapor bisa menjamin bahwa nilai itu mencerminkan kemampuan sang anak. Nilai rapor jangan mencekungkan atau mencembungkan nilai anak yang sebenarnya. Kelima, peserta ujian harus yakin dengan kemampuannya sendiri yang diikuti upaya keras, baik sebelum dan saat pelakasanan UN. 


*) Dimuat di Harian Jurnal Nasional | Senin, 15 Apr 2013
* Oleh Sutrisno
   Guru dan Mahasiswa Pascasarjana (S2) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)

0 komentar: