PERHELATAN nasional berupa ujian nasional (UN) kembali
diselenggarakan. Untuk tingkat SMA/MA/SMK digelar 16-18 April, SMP/MTs/SMPLB
dilaksanakan 22-25 April, dan SD/MI/SDLB, 6-8 Mei 2012. Banyak pihak berharap
pelaksanaan UN 2013 ini tingkat kelulusan peserta didik meningkat. Siswa juga
diharapkan mampu meraih nilai memuaskan.
Saat ini, UN tidak lagi menjadi satu-satunya penentu
kelulusan siswa. Salah satu unsur kelulusan didapat dari nilai gabungan. Nilai
sekolah ditambah nilai UN akan menjadi nilai gabungan. Penentuan nilai sekolah
siswa didapatkan dari nilai rapor semester satu hingga semester empat plus
nilai ujian akhir sekolah (UAS). Hasil rata-rata nilai gabungan nanti tidak
boleh kurang dari 5,5. Sedangkan pembobotan nilai UN dan UAS adalah 60 persen
untuk nilai UN dan 40 persen dari UAS (Permendikbud No 3 Tahun 2013).
Memang, kelulusan seharusnya ditentukan dari hasil
penilaian komprehensif. Ini langkah positif dan cukup mengakomodasi kepentingan
sekolah sebagai penyelenggara pendidikan. Sebelumnya, sekolah sama sekali tidak
dilibatkan dalam menentukan kelulusan. Padahal, sekolah jauh lebih dahulu tahu
kapasitas siswa dan mengetahui persis perkembangan proses belajar-mengajar
dalam keseharian.
Pertanyaannya, apakah formula kelulusan UN tersebut sudah
memuaskan semua pihak? Khususnya guru dan siswa selaku subyek di lapangan? Saya
pribadi sebagai guru yang setiap hari berkecimpung dengan siswa, keputusan ini
setidaknya cukup menenteramkan. Paling tidak, meredam fobia UN yang selama ini
menakutkan siswa.
Namun demikian, meski pemerintah menegaskan UN bukan
menjadi faktor penentu kelulusan, namun tetap saja formula kelulusan UN dapat
memberatkan siswa. Pertama, terkait rumus perhitungan nilai gabungan,
yakni = (0,6 x nilai UN) + (0,4 x nilai sekolah). Misalnya perhitungannya
sebagai berikut: (0,6.4) + (0,4.8) = 5,6.
Jika diasumsikan nilai UN 4 (jatuh), maka seorang siswa
harus memperoleh minimal bobot nilai 8 untuk nilai sekolah agar bisa lulus dari
jenjang satuan pendidikan. Nah, nilai 8 inilah yang rasanya cukup berat diraih
siswa. Apalagi nilai sekolah merupakan rerata dari nilai-nilai rapor di
semester 3-5 bagi tingkat SMA/MA/SMK untuk tiap mata pelajaran UN.
Kedua, berjalin-kelindannya berbagai
masalah yang menyertai kelulusan (ketidaklulusan) siswa dikhawatirkan membuat
sekolah tertekan. Yang paling dirisaukan pihak sekolah adalah besaran
ketidaklulusan akan berpengaruh signifikan terhadap kepercayaan masyarakat.
Padahal kepercayaan masyarakat merupakan modal utama bagi eksistensi sebuah
sekolah. Dalam situasi demikian terbuka celah yang lebar bagi sokalah untuk
"memanipulasi" olahan nilai sekolah sedemikian rupa, sehingga peserta
didik yang mestinya tidak lulus kemudian diluluskan dengan
"pertolongan" olahan sekolah yang 40 persen itu.
Kita sepakat dengan hasil survei nasional, UN tetap
diperlukan terutama untuk mendorong siswa, guru, dan kepala sekolah bekerja
keras meningkatkan kualitas pendidikan. Namun, capaian itu tidak berarti tanpa
kejujuran para pemangu kepentingan. UN bersih lebih bermakna dan bukan
pencapaian hasil belajar. Berapa pun kenaikan standar kelulusan tidak akan berpengaruh
terhadap kualitas pendidikan kalau pelaksanaannya tidak jujur dan capaiannya
hanya semu.
Pengalaman pelaksanaan UN sebelumnya menunjukkan bahwa
masih banyak terjadi kecurangan dan penyimpangan seperti: kebocoran soal UN,
perjokian, dan jual beli jawaban UN. Yang ironis, ketidakjujuran UN melibatkan
sekolah, guru, kepala sekolah, dan pejabat daerah. Masalah prestise dan
reputasi yang terancam menjadi sumber persoalan dari
"ketidakberdayaan" para guru dan sekolah mempertahankan kejujuran
tadi.
Dalam banyak kasus pelanggaran UN, bukan pihak luar yang
melakukan pelanggaran, namun justru pihak sekolah, yaitu mereka yang berasal
dari dalam. Ironisnya, para pendidik itu sendirilah yang menciptakan UN penuh
sandiwara. Pejabat daerah pun memiliki kepentingan dengan pencitraan nama baik
daerahnya, sehingga ketidakjujuran ini seringkali "diamini" oleh
pejabat daerah tersebut.
Memang, sungguh ironis di negeri ini. Memilih jalan
kebenaran lebih besar risikonya dibanding yang memilih jalan keliru, yang justru
relatif lebih aman. Tujuan baik penyelenggaraan UN yang diharapkan pemerintah
sama sekali tidak tercapai. Pemetaan pendidikan yang akan ditunjukkan oleh
hasil UN sama sekali tidak memenuhi unsur validitas dan reliabilitas.
Keberhasilan pendidikan yang ditunjukkan dengan angka
statistik keberhasilan UN adalah semu belaka. Pelaksanaan UN justru hanya
menciptakan generasi yang selalu mengharapkan bantuan orang lain. Sebagian
siswa pun telah mengetahui, ketika ujian berlangsung, mereka akan
"ditolong" pihak sekolah. Maka, bukan tidak mungkin hal ini lambat
laun akan menjadi rahasia umum di kalangan siswa yang akhirnya mematikan
motivasi belajar siswa.
Seketat apa pun pengawasan dan pengamanannya, bukan jaminan
UN jujur. Kejujuran hanya akan terwujud apabila semua yang terlibat menyadari
hakikat ujian ini, sehingga beriktikad baik untuk menjaga amanah itu. Masa
depan pembangunan bangsa ini akan tergantung pada sumberdaya manusia
berkualitas yang dihasilkan dari proses pendidikan yang cerdas dan jujur.
Tentu kita lebih memilih orang-orang yang "setengah
cerdas tetapi jujur" ketimbang "cerdas tetapi tidak jujur".
Harus kita dukung UN yang berformula kejujuran, bukan prestasi tinggi yang
diraih dengan kecurangan. UN berformula kejujuran harus menjadi tanggung jawab
bersama demi sukses UN yang berkualitas.
Hemat saya, kunci pelaksanaan UN yang baik, jujur, dan
kredibel adalah: pertama, dijamin keamanan dan kerahasiaannya. Karena,
jika berkasnya bocor, maka kredibilitas UN sudah berkurang, bahkan hilang. Kedua,
dari sisi ketepatan distribusi, harus tepat waktu, tepat jumlah, dan tepat
bahan yang mau diuji. Ketiga, pada hari pelaksanaan harus dijamin
kelancarannya. Jangan sampai soal sudah ada semua tapi soal ujian yang
dibagikan salah.
Keempat, dalam sistem evaluasi harus
dipastikan agar nilai rapor bisa menjamin bahwa nilai itu mencerminkan
kemampuan sang anak. Nilai rapor jangan mencekungkan atau mencembungkan nilai
anak yang sebenarnya. Kelima, peserta ujian harus yakin dengan
kemampuannya sendiri yang diikuti upaya keras, baik sebelum dan saat
pelakasanan UN.
*) Dimuat di Harian Jurnal Nasional | Senin, 15
Apr 2013
* Oleh Sutrisno
Guru dan Mahasiswa Pascasarjana (S2) Universitas
Muhammadiyah Surakarta (UMS)
0 komentar:
Posting Komentar